29.6.09

Sekolah, Capek Deh!

Pagi tadi lebih kurang pukul 06.30 aku, istri, dan si kembar sempat putar-putar Kota Semarang. Pertama kali yang kami tuju adalah mesin ATM di Jalan Majapahit. Setelah selesai urusan dengan itu mesin, kami meluncur ke Jalan Kauman Raya, masih di seputar Jalan Majapahit. Niatnya sih beli sarapan buat si kembar sekaligus cari nasi gudangan buat makan sama istri. Gak tahu tuh tadi pagi-pagi kok tiba-tiba istri pengen makan nasi gudangan lengkap dengan ikan asin goreng dan tempe goreng.

Nasi gudangan masih ada. Tiga bungkus buat berdua rasanya cukup. Sayang, sarapan buat si kembar gak ada karena semua sayur dan lauk pedas. Kami lantas meluncur melintasi Jalan Panda, Perumahan Pondok Indah, dan muncul di Jalan Arteri Soekarno-Hatta.

Jalanan mulai ramai. Kami terus melaju di Jalan Arteri Soekarno-Hatta dan berhenti di perempatan Tlogosari ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Saat lampu hijau menyala, kami belok kanan masuk Jalan Tlogosari Raya lantas menyusuri jalan-jalan kecil dan akhirnya sampai di Pasar Tlogosari. Di pasar istriku beli bahan sayuran dan lauk untuk masak hari ini sekaligus lauk matang untuk sarapan si kembar. Begitu semua sudah terbeli, kami meluncur pulang.

Sampai di rumah, kami sarapan. Usai sarapan, aku mengambil naskah yang baru kuselesaikan beberapa hari lalu. Seperti biasa, aku pergi ke tempat fotokopi untuk menggandakan naskah itu sekaligus menjilidnya sebelum kukirim ke penerbit. Kali aku sengaja mencari tempat fotokopi yang agak jauh dari rumah, sekitar 300 meter dari rumah dengan pertimbangan ada tempat duduk ketika mesti menunggu.

Meskipun belum pukul delapan, tempat fotokopi itu rupanya penuh sesak. Sepeda motor terparkir tak karuan, malang melintang di pinggir jalan. Ah, rupanya mereka adalah para siswa dan orang tua yang akan mendaftar sekolah. Ada yang memfotokopi surat keterangan lulus, buku rapor, kartu keluarga, surat nikah orang tua, dan lain-lain. Mereka adalah orang tua murid dari tingkat pendidikan berbeda, TK, SD, dan SMP.

Lumayan lama juga aku mengantre. Padahal, ketika itu yang memfotokopi cuman si pemilik. Para karyawan belum datang. Si pemilik terlihat kewalahan. Setiap ada yang selesai memfotokopi, ada lagi yang datang. Kadang satu, kadang dua, kadang sekaligus tiga orang. Di sela-sela itu masih ada satu-dua orang (kadang orang tua, kadang anak) yang menyela membeli map dengan warna yang macam-macam.

Melihat begitu banyak orang sibuk memfotokopi pikiran nakal menyelinap di benakku. Lha, mereka susah-susah sekolah, ujung-ujungnya cuman dapat beberapa lembar kertas. Lantas kertas-kertas itu mereka fotokopi. Dengan fotokopi itu mereka sibuk mencari sekolah baru, sekolah dengan jenjang yang lebih tinggi. Di sana, mereka bakal kembali disibukkan dengan rutinitas seperti ketika bersekolah di jenjang sebelumnya. Bahkan, di jenjang yang lebih tinggi ini kegiatan mereka kian padat. Ujung-ujungnya apa coba? Ya, sama juga. Kelak mereka bakal dapat lembaran-lembaran kertas semacam itu lagi dengan stempel dan tanda tangan pejabat pendidikan (baca ijazah). Lantas mereka memfotokopi lagi lembaran-lembaran kertas itu untuk mendaftar di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Begitulah. Sekolah seolah hanya mengejar fatamorgana. Mengandalkan lembaran-lembaran kertas untuk mencapai sesuatu yang (menurut mereka) lebih baik. Begitu seterusnya hingga akhirnya dengan lembaran-lembaran kertas itu mereka berharap memperoleh pekerjaan yang menjanjikan. Sekali lagi, dengan hanya mengandalkan lembaran-lembaran itu mereka berharap dapat kerja. Ya, kalau kelak akhirnya mereka dapat kerja seperti yang mereka dan orang tua harapkan? Kalau tidak? Stres kali, ya?

Aku teringat masa lalu. Dulu aku juga pernah mengalami hal serupa. Mulai SD, SMP, hingga SMA aku mengalami hal serupa. Aku selalu berusaha keras untuk mendapatkan lembaran-lembaran itu sebagai tiket. Lulus SD dapat tiket untuk masuk SMP. Lulus SMP dapat tiket muntuk masuk SMA. Nah, ketika lulus SMA inilah lembaran-lembaran itu tak lagi bisa diandalkan untuk masuk perguruan tinggi idaman dengan tarif spesial (baca PTN) karena lembaran-lembaran itu hanya sebagai syarat. Jika ingin benar-benar masuk PTN, ya tiketnya mesti ikut seleksi (gak tahu ya kali aja sekarang ada cara-cara tertentu yang gak harus susah-susah ikut seleksi?) Di sinilah kemampuan kita benar-benar diuji.

Pengalaman lulus SMA itulah yang membuatku merenung. Ya, ijazah saja rupanya tidak cukup. Kita perlu punya keahlian untuk bisa bersaing di dunia kerja yang kian sesak ini. Jika hanya mengandalkan ijazah, siap-siap saja menelan pil pahit bernama kekecewaan. Nah, lo?

1 comment:

Ogek Dedy said...

Terkadang hidup ni harus dipaksa. Tak bisa dipungkiri bahwa hidup ni harus selalu ditempa, ditempa untuk dapat hidup meski untuk hanya mendapi kekecewaan demi kekecewaan.

Sebagai catatan aja, sekolah adalah tuk dapati ilmu, jadi orang pintar, bukan berarti lulus, punya nilai yang bagus trus lansung dapat kerjaan, sebab menurut saya, cara pandang yang menganggap harus sekolah untuk dapat kerjaan, tu adalah cara pandang yang salah.

saya berharap semoga ke depan sekolah tak dianggap sebagai tiket untuk dapat kerjaan.