12.11.07

Kisah Sirene Ambulans

Jelang pukul 14.00 aku baru selesai mandi. Setelah menyiapkan segala sesuatu, aku meluncur ke kantor. Langit Jogja pekat. Mungkin bakal turun hujan deras.

Benar saja. Belum juga sampai perempatan Pasar Godean, hujan membumi. Deras, bahkan sangat. Aku menepi dan membuka jok. Kuambil jas hujan dan mengenakannya. Namun, aku tak langsung kembali meluncur. Aku menunggu beberapa saat, menunggu hujan sedikit reda. Untunglah tak sampai sepuluh menit hujan agak reda. Aku kembali meluncur.

Sampai di Bantulan, tepatnya di sisi utara jalan, sebuah baliho berukuran relatif besar ambruk. Baliho itu ambruk bukan karena kurang dalam ditanam, melainkan karena tiang baliho itu patah. Kukira tiang baliho itu menggunakan besi bekas karena aku tahu betul baliho itu belumlah begitu lama ada di tempat tersebut. Mungkin baru dalam hitungan bulan. Ya, barang bekas pun kalo dipoles juga tak bakal terlihat bekas. Jika pintar mengemas dan pandai berteriak-teriak bahwa barang itu adalah barang baru dengan harga murah, biasanya bakal banyak pembeli menawar, bukan?

Melihat baliho itu ambruk, selain membayangkan besi bekas sebagai tiang baliho, aku mulai berpikir tentang hal lain. Selain mungkin kekuatan tiang baliho itu memang tak seberapa, bisa jadi baliho itu ambruk lantaran angin bertiup terlalu kencang. Mungkin saja daerah itu baru saja dilanda hujan deras plus angin kencang. Pasal, selain air yang masih menggenang di sisi kiri-kanan jalan, beberapa dahan pohon terlihat patah. Tentu baliho itu juga jadi salah satu bukti adanya angin kencang.

Semakin ke timur, hujan semakin reda. Sampai di perempatan Jalan Lingkar Barat, tepatnya di Demakijo, lampu merah menyala. Aku berhenti. Saat kendaraan dari arah timur mulai berjalan, tanpa sengaja mataku tertuju ke sebuah mobil dengan tulisan warna biru yang mencolok, namun terbalik: Ambulan Hewan. Di bawah tulisan itu termuat kata yang sama dalam bahasa Inggris.

Aku mulai berkhayal. Sambil terus melaju, aku berandai-andai. Mungkinkah ambulans hewan itu juga mendapat hak istimewa di jalan jika sirene ambulans tersebut dibunyikan? Kalau jawabannya ”YA”, tentu sebagai manusia aku iri karena hewan sakit atau sekarat saja dapat pelayanan layaknya pejabat. Lantas, bagaimana dengan orang sakit yang hanya diantar pakai becak? Ah, tidak seekstrem itu. Orang sakit yang diantar pakai mobil pun kalau bukan ambulans tentu tak bakal dapat pelayanan seistimewa itu, bukan?

Dengan pikiran yang masih mengembara, aku terus meluncur. Sampai Mirota Godean jalanan macet. Padahal, air di sisi utara lumayan tinggi. Ah, banjir, batinku. Namun aku tetap menghibur diri dengan berkata dalam hati, ”Ini tak separah Semarang. Belum ada apa-apanya dibanding Semarang.”

Perlahan aku terus bergerak ke arah timur. Jalanan masih macet. Di setiap perempatan polisi tampak sibuk mengatur kendaraan yang semrawut. Ternyata listrik padam sehingga lampu lalu lintas di setiap perempatan juga ikut mati. Di perempatan Pingit, Tugu, dan Jalan Sudirman (Gramedia), terlihat polisi bekerja ekstra dengan jas hujan warna putih bertuliskan POLISI. Bahkan, di perempatan Sudirman kulihat beberapa polisi tak mengenakan sepatu alias bertelanjang kaki di jalanan yang airnya keruh (mungkin karena itu air luapan dari selokan ya?)

Lantas kembali aku berkhayal. Bagaimana ya seandainya dalam suasana yang kacau itu tiba-tiba saja terdengan suara sirene ambulans meraung-raung membelah kemacetan? Ya, seandainya tiba-tiba saja para polisi itu berteriak sambil meniup peluit mereka keras-keras meminta para pengguna jalan menyingkir untuk memberi jalan kepada ambulans dengan sirene yang tetap meraung-raung itu?

Ah, khayalanku akhirnya berhenti di satu titik. Satu di antara polisi itu menembak kepala sopir ambulans lantaran dia tak berani menembak binatang milik pejabat yang ada dalam ambulans binatang tersebut.

No comments: