27.3.08

Catatan dari Solo (Bagian Pertama)

Selasa, 18 Maret 2008, jelang tengah malam. Kerjaan baru saja kelar. Setelah salat Isya, aku dan tiga orang (satu orang rekan satu bagian di kantor, dua lainnya pak bos dan sang istri) meluncur ke Solo dengan mobil pribadi Pak Bos. Kami menyusuri kelok-kelok jalan dari kantor ke arah jalan Semarang–Solo dengan mata (setidaknya mataku) sedikit terkantuk.

Setelah melaju lebih kurang 20 menit, kami sampai di Ungaran, Kabupaten Semarang. Di depan RSUD Ungaran, kami berhenti karena seorang dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes) telah menanti untuk bersama-sama pergi ke Solo. Setelah itu, kendaraan kembali melaju. Sampai di Pasar Salatiga, kami kembali berhenti untuk sekadar menikmati wedang ronde sembari mengobrol.

Sampai di Boyolali, aku masih tersadar. Namun, beberapa saat kemudian aku sudah tak ingat apa-apa lagi. Aku kembali tersadar saat kendaraan yang kami tumpangi sudah masuk Kota Solo. Rupanya aku telah tertidur untuk beberapa saat. Setelah bertanya kepada seorang tukang becak, akhirnya kami sampai di tujuan, Hotel Grand Setiakawan di Jalan Ahmad Yani.

Setelah masuk kamar, aku kirim pesan singkat kepada dua kawan yang ada di Solo. Satu kawan di Komunitas Mejabolong, sementara satu kawan lagi adalah kawan saat kuliah kerja nyata di Yogyakarta sekian tahun silam. Aku katakan dalam pesan singkatku bahwa aku sedang berada di Solo dan ingin bertemu.

Keesokan paginya aku bangun agak telat. Setelah salat Subuh, aku duduk-duduk sebentar, lantas ke kamar mandi untuk berendam air hangat. Dari luar terdengar teriakan teman sekamar yang juga dosen Unnes. Pak dosen bilang bahwa dia akan turun lebih dahulu (kamar kami di lantai 3). Aku jawab ”iya” karena mungkin dia terlalu lama menungguku berendam.

Selesai berendam, aku ganti pakaian. Setelah itu, aku bergegas menuju ruang seminar. Aku menandatangani daftar hadir di meja tamu. Kawan-kawan dari Balai Bahasa Semarang yang bertugas di meja tamu memintaku untuk langsung menuju ruang tempat peserta sedang makan pagi. Saat akan pergi ke tempat makan, aku bertemu seorang kawan alumni Sastra Indonesia Undip sekaligus mantan Pimpinan Persma Manunggal Undip. Aku juga bertemu Pak TD Asmadi, Ketua Forum Bahasa Media Massa Pusat. Kami berjabat tangan lantas bersama-sama menuju ruang makan.

Rupanya para peserta yang menginap di hotel itu sudah hampir selesai makan pagi. Aku langsung mengambil seporsi nasi goreng dan kawan-kawannya untuk mengganjal perut. Lantas aku duduk di salah satu meja. Di meja itu telah ada tiga orang, seorang dosen Undip, seorang kawan dari Suara Merdeka, dan seorang kawan dari LKBN Antara. Rupanya kawan dari LKBN Antara sedang tergesa-gesa. Tampaknya dia ada keperluan di luar hotel. Setelah kawan dari LKBN Antara keluar ruangan, datang seorang dari koran sore Wawasan mengisi tempat duduk kawan dari LKBN Antara yang sudah kosong.

Selesai makan pagi, aku menikmati segelas jus. Saat akan mengambil jus untuk gelas keduaku, seseorang masuk ruangan. Rupanya Pak Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa yang akan menjadi salah satu pembicara dalam Seminar ”100 Tahun Kebangkitan Nasional: Bahasa, Politik, dan Media Massa” hari kedua, Rabu, 19 Maret 2008.

Singkat kata, seminar pun dimulai. Sesi pertama seminar diisi Pak Dendy dan Bupati Karanganyar Ibu Rina Iriani Ratnaningsih. Hal yang saya garisbawahi dari paparan Pak Dendy adalah media sering mengutip yang dipakai oleh aparat keamanan dan para pejabat sehingga terkesan kurang praktis. Beberapa kata yang dijadikan contoh adalah melakukan pengejaran (lebih baik mengejar), melakukan pencurian (mencuri), melakukan perbaikan (memperbaiki), dan sebagainya. Sementara Ibu Rina lebih menyoroti penggunaan bahasa di parlemen yang cenderung kasar. Menurut Rina, bahasa di parlemen yang cenderung kasar sebenarnya bisa dihindari karena pada hakikatnya bukan bahasanya yang kasar, melainkan pengguna bahasa.

Pada sesi kedua, Pak Ahmad Tohari mengungkapkan kegelisahannya berkaitan dengan istilah pemilihan umum karena dinilai tidak mencapai substansi yang ingin diraih, yakni adanya pemberian mandat kepada orang yang dipilih. Oleh karena itu, Ahmad Tohari melontarkan sebuah wacana untuk mengganti istilah pemilihan umum dengan permandatan umum atau pengamanatan umum.

Mungkin sampai di sini dulu untuk laporan pertama. Laporan kegiatan setelah seminar akan aku tulis pada lain kesempatan.

No comments: