22.7.07

Peluncuran Interupsi

Cerpen Bercerita, Sastra Memberita
Oleh Achiar M Permana

LILIN barangkali tak lebih dari barang remeh-temeh yang acap terlupa. Benda itu boleh jadi mampir di benak kita hanya untuk dua peristiwa: ulang tahun dan listrik padam. Ya kan? Namun, benarkah tak ada yang istimewa dari lilin yang telah dekat dengan manusia sejak ratusan atau ribuan tahun silam? Jika pertanyaan itu Anda sodorkan pada Eko Sugiarto, barangkali dia bersigegas membacakan salah satu cerpennya. Judulnya ”Masih Adakah Lilin di Tempatmu”, satu dari 12 cerpen dalam antologi Interupsi, saat Rakyat Menggugat.

Antologi kedua Eko, setelah Kereta dengan Satu Gerbong (2006), itu diluncurkan di gazebo Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unnes, Sekaran, Gunungpati, kemarin. Pada acara yang disahibulbaiti Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (BSI) itu, kumpulan cerpen Eko dibedah Dr Teguh Supriyanto MHum dan Gunawan Budi Susanto. Hadir Trias Yusuf dari Fakultas Sastra Undip dan Ariesta Widya, penulis crita cekak asli Gunungpati.

Dalam cerpen ”Masih Adakah Lilin di Tempatmu”, Eko yang juga penyelaras bahasa Kompas edisi Jateng-DIY itu menarasikan urgensi lilin yang begitu penting ketika listrik padam. Cerpen itu, kata dia, terinspirasi oleh listrik yang mendadak padam ketika terjadi gempa bumi di Padang, beberapa tahun silam.

Coba simak petilan cerpen itu yang dibacakan secara deklamatif oleh Putri Arum Wijayanti. ”Terlalu bodoh mungkin jika aku bertanya apakah malam ini ada lilin yang menyala, apalagi di kantor. Jelas tak ada...”

Suara bertimbre mezzosopran Puput, begitu mahasiswi cantik itu akrab dipanggil, ditingkahi liukan biola Geni P Sugiyanto. Para peserta diskusi terpaku, atau justru terhanyut, menikmati cara pembacaan yang puitis. Menyimak benda seremeh-temeh lilin, yang sangat sehari-hari, menjelma cerita yang mengalir untuk dinikmati.

Dari lilin, Eko menggulirkan kisah ke soal-soal lain, seperti hutan yang gundul oleh pembalakan atau jaringan listrik yang diboyakkan gempa. ”Berapa sih harga sebatang lilin? Mungkin itu yang sempat terlintas di kepalamu, kawan. Bukan masalah berapa harganya, tapi nyalanyalah yang dibutuhkan. Karena nyala itulah, seandainya ada benda lain yang bisa menggantikan nyala lilin itu, ia mungkin rela menukarnya dengan apa pun yang masih ada padanya...”

Melawan ”Arus”
Teguh Supriyanto, doktor ilmu susastra lulusan UGM, menilai cerpen Eko Sugiarto cenderung melawan ”arus”. Itulah kecenderungan cerpenis untuk menulis karya prosa fiksi berbasis khayalan, dengan ungkapan penuh metafora. Cerpen-cerpen Eko dalam Interupsi disebutnya berbasis fakta, seperti laporan jurnalistik, dengan pengungkapan relatif bersahaja. ”Eko bertindak sebagai narator, juru cerita, saat menuangkan gagasan. Itu pilihan politik yang cerdas, mengingat dia memiliki penguasaan data memadai,” komentar Teguh.

Dia menolak membedah cerpen-cerpen Eko dengan pisau analisis strukturalisme absolut. Sebab, kata dia, estetika strukturalisme membangun elitisme dan eksklusivisme, sedangkan cerpen Eko berbau populer, cair, dan menyebar. ”Estetika bahasa dalam strukturalisme sangat dipuja, sementara bahasa Interupsi cenderung beragam jurnalistik, encer, dan enak dibaca oleh kalangan mana pun.” (53)

Sumber: Harian Suara Merdeka Edisi Jumat 20 Juli 2007


Cerpen, Cara Berbagi Pengalaman
Penulis Perlu Jujur Baca Realitas


”Seorang yang mungkin malam ini kedinginan dan meringkuk seorang diri dalam gelap karena listrik di kotanya padam akibat gempa. Seseorang yang masih gamang tentang bagaimana nasib masa depannya. Seorang yang tak tahu ke mana harus berharap dan ke mana pula harus mencurahkan cinta.... Masihkah kita percaya bahwa malam ini dia membutuhkan lilin?”

Demikian cuplikan cerpen berjudul "Masih Adakah Lilin di Tempatmu?" dalam antologi cerpen "Interupsi, Saat Rakyat Menggugat" karya Eko Sugiarto. Antologi cerpen kedua Eko ini diluncurkan di Fakultas Bahasa dan Sastra Jurusan Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang (Unnes), Kamis (19/7).

Peluncuran antalogi itu dikemas dalam diskusi ringan yang menghadirkan dosen Fakultas Bahasa dan Seni Unnes Teguh Supriyanto dan seniman Forum Seni Gebyog Gunawan Budi Susanto.

”Kisah-kisah dalam cerpen Eko terkesan apa adanya yang mengangkat kejadian sehari-hari. Sesuatu yang remeh-temeh dan seringkali terlewatkan atau dilupakan orang, diangkatnya, seperti lilin dan orang duduk di depan jendela,” kata Gunawan.

Menurut Gunawan, kejadian yang dialami setiap orang atau sesuatu yang bisa ditemui setiap hari itu tidak begitu istimewa. Namun, ketidakistimewaan itu justru menghadirkan kejujuran penulis yang mampu membaca realitas. Beragam realitas itu melanggengkan ingatan dan melawan lupa.

Dalam kesempatan itu, Teguh mengemukakan, cerpen itu merupakan laporan setiap peristiwa hidup. Dalam cerpen itu Eko sering menggunakan gaya bertutur orang pertama, yaitu ”aku” dan ingin berdialog serta mengganggap pembacanya sebagai teman, dengan menyebutkan kata "kita" dan "kawan".

Menurut Eko, cerpen-cerpen tersebut lahir dari pengalaman hidup sehari-hari. Cerpen berjudul ”Masih Adakah Lilin di Tempatmu?”, misalnya. Gagasan menulis cerpen tersebut muncul ketika lampu di kantornya mati dan bersamaan dengan itu ia menerima pesan singkat (SMS) dari saudaranya.

Eko juga mengatakan, cerpen merupakan sebuah cara berbagi pengalaman keseharian dengan orang lain. ”Dengan membaca cerpen, pembaca bisa terlibat menjadi salah satu tokoh dan seolah-olah bisa mendengarkan cerita dari seorang kawan atau sahabat,” ujar dia. (HENDRIYO WIDI)


Sumber: Harian Kompas Jateng Edisi Jumat 20 Juli 2007

2 comments:

Raida said...

tulisannya sangat menarik, cuman saya kudu memperbesar layar komp saya ampe 150% saya agar lbh mudah membacanya, font nya cilik2 euy.. mataku dah mulai berair neh :(

Admin Blog said...

halo Raida. trims ya. wah, kalo gtu fontnya aku gedein deh. salam....